Siap!!! BERPERANG......Baik Pemikiran maupun kekuatan fisik!!! "HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID"

Siap!!! BERPERANG......Baik Pemikiran maupun kekuatan fisik!!! "HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID"

My Flag and ummah

MenAnti Apa Yang Di NanTi

BerdiRi koKoH,MengHadap, MeNanTang..







Sekian Lama Terpuruk,,mencOba Tuk BanguN dari Tidur Panjang..







Duduk, Jongkok, Berdiri sampai Nanti..







SaMpai TerbukTinya SuraT Al-Qoriah, Al-Zalzalah...




KHILAFAH RASYIDAH ALA MANHAJ NUBUWWAH AKAN HADIR MENJADI PELITA SELURUH ALAM..







Allahu Akbar!!!







kobArkan Al-liwa ar-Rayah mu KAWAN!!!

Dan PENA ku berkata..."LAWAN!!! LAWAN!!!LAWAN!!!









Isi Buku Tamu dulu Dunkzzzz


ShoutMix chat widget

Si Pena TajaM

Foto saya
Merupakan Pusat Studi Islam yang hadir untuk Remaja dalam mendapatkan pencerahan Islam melalui kebenaran ajarannya

Jumat, 05 Februari 2010

MENJAGA PANDANGAN

Kewajiban Menjaga Pandangan

Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan kaum Muslim dan Muslimat untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Allah swt berfirman;



قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."[Al-Nuur:30]

Dalam Kitab Ahkaam al-Quran disebutkan, "Maksud ayat ini adalah agar menahan (menjaga) pandangan dari aurat. Sebab, tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai bolehnya melihat selain aurat."

Imam al-Syaukani, dalam kitab Fath al-Qadir, menyatakan, "Tatkala Allah swt menerangkan hukum meminta ijin, Allah swt juga menyertakan hukum melihat (hukm al-nadhr) dalam bentuk umum. Di mana, di atas hukum umum tersebut dijelaskan hukum menjaga pandangan dari orang yang meminta ijin, seperti yang dituturkan oleh Nabi saw, "Sesungguhnya, ijin itu ditetapkan untuk menjaga pandangan." Selain itu, kaum Mukmin juga dilarang memandang wanita Muslimat yang bukan mahramnya, seperti halnya ada larangan bagi kaum Mukmin melihat wanita a'jam (asing). Ini ditujukan untuk mencegah terjadinya praktek zina, yang salah satu bagian dari zina adalah memandang wanita asing. Jika kaum Mukmin dilarang melihat wanita asing, lebih-lebih lagi wanita-wanita Mukminat….Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga pandangan (ghadldl al-bashar) adalah ithbaaq al-jafn 'ala 'ain (mengatupkan kelompok mata di atas mata), agar mata tidak bisa melihat….Mayoritas ulama berpendapat, bahwa huruf min dalam frase "min absharihim" berfungsi untuk membatasi (li al-tab'iidl). Oleh karena itu, makna ayat tersebut adalah menjaga pandangan dari apa-apa yang diharamkan, dan membatasi diri hanya memandang hal-hal yang dihalalkan..Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan haramnya melihat apa-apa yang haram untuk dilihat."

Imam Ibnu Katsir menyatakan, "Ayat ini merupakan perintah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang Mukmin agar menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, janganlah mereka memandang, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan atas mereka; dan hendaklah mereka menahan (menjaga) matanya dari hal-hal yang diharamkan. Hanya saja, telah ada kesepakatan, jika seseorang memandang wanita asing tidak dengan sengaja, maka ia harus segera memalingkan pandangannya. Ketentuan ini sejalan dengan hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin 'Abdullah al-Bajaliy; bahwasanya ia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tidak sengaja. Beliau saw memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku".

Dalam Tafsir al-Thabariy, Imam Thabariy menyatakan; Allah swt telah memerintahkan kepada Nabi Mohammad saw agar mengatakan kepada laki-laki Mukmin untuk menahan (menjaga) pandangannya dari hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat, jika ia memandangnya.

Imam al-Suyuthiy dalam kitab al-Durr al-Mantsur, menuturkan beberapa riwayat yang berkenaan dengan ayat di atas (al-Nuur:30). Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ali ra berkata, "Di masa Nabi saw, ada seorang laki-laki sedang berjalan di salah satu jalan di kota Madinah, dan ia memandang seorang wanita. Wanita itu juga memandang dirinya. Lalu, keduanya dibisiki oleh setan, dimana satu dengan yang lain tidak saling memandang kecuali keduanya saling tertarik. Laki-laki itu berjalan di sisi tembok, dan terus memandang wanita itu. Tanpa ia sadari, tembok itu telah berada di depannya, dan hidungnya pun menabrak tembok hingga berdarah. Laki-laki itu berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menyeka darahku ini, hingga Rasulullah saw mendatangiku. Lalu, ada seorang laki-laki menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw pun mendatanginya, dan laki-laki itu pun menceritakan kisahnya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda, "Ini adalah hukuman atas dosamu." Kemudian, turunlah firman Allah swt surah al-Nuur:30". Diriwayatkan juga dari Qatadah, bahwa makna firman Allah swt, "qul lil mukminiin yaghudldluu min abshaarihim", adalah, "menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak dihalalkan memandangnya.."

Imam Qurthubiy juga menyitir pendapat dari Qatadah, bahwa maksud ayat ini adalah agar kaum Mukmin menjaga pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka. Menurut Imam Qurthubiy, hukum menjaga pandangan dari semua hal yang diharamkan dan dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah, adalah wajib. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Hindarilah oleh kalian, duduk-duduk di jalanan ". Para shahabat bertanya, "Ya Rasulullah, tidaklah kami duduk di pinggir jalan, kecuali hanya sekedar berbincang-bincang saja." Nabi saw saw berkata, "Jika kalian tidak bisa menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan, maka, penuhilah hak-hak pengguna jalan." Para shahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa hak pengguna jalan itu? Nabi menjawab," Menjaga pandangan, menyingkirkan bahaya, membalas salamnya, dan amar ma'ruf nahi 'anil mungkar".[HR. Bukhari dan Muslim]

Hanya saja, kewajiban menjaga pandangan dan kemaluan, juga berlaku bagi wanita. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman;



وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31]

Imam Baidlawiy, dalam Tafsir al-Baidlawiy menafsirkan ini dengan menyatakan, "Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk melihatnya." Imam Syaukani dalam kitab Fath al-Qadiir menjelaskan; ayat ini seperti halnya surat al-Nuur ayat 30, merupakan dalil yang menunjukkan haramnya wanita Mukminah memandang apa-apa yang diharamkan.

Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat ini berfungsi untuk menegaskan (ta'kiid) perintah gadldlu al-bashar (menjaga pandangan) kepada para wanita Muslimat. Sebab, pada ayat sebelumnya, yakni surat al-Nuur ayat 30, sudah ada perintah kepada wanita Muslimat agar menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebab, frase "wa qul lil mukminiin" adalah frase umum yang berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita; seperti halnya setiap khithab umum yang ada di dalam al-Quran. Perintah ini kemudian dipertegas kembali pada ayat berikutnya (surat al-Nuur:31).

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kaum Mukmin dan Mukminat wajib menjaga pandangannya; dengan cara tidak melihat aurat laki-laki atau wanita asing (bukan mahram). Adapun pandangan yang tiba-tiba atau tidak disengaja; hukumnya tidaklah haram. Hanya saja, setelah pandangan pertama, mereka harus segera memalingkan pandangannya ke arah yang lain.

Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Sa'id bin Abi al-Hasan pernah berkata kepada al-Hasan, ketika ada seorang wanita 'ajam (asing) yang dada dan kepalanya terbuka, "Palingkanlah pandanganmu."[HR. Bukhari]

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, dari Jarir bin 'Abdullah, bahwasanya ia berkata;



سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي

"Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab, "Palingkanlah pandanganmu."[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]

Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata,



قَالَ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

"Nabi saw bersabda kepada Ali ra, "Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya." [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa laki-laki dan wanita wajib menjaga pandangannya satu dengan yang lain. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita begitu juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki. Adapun selain aurat, baik laki-laki dan wanita diperbolehkan melihatnya dengan tidak disertai maksud untuk menikmatinya, atau untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut, sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.



Ketentuan Umum Tentang Ghadldl al-Bashar (Menjaga Pandangan)

Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum memandang wanita atau laki-laki, dapat diringkas sebagai berikut;

1. Syariat telah menyatakan dengan tegas, wajibnya kaum laki-laki dan wanita menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita, begitu juga sebaliknya; seorang wanita tidak diperbolehkan melihat aurat laki-laki, kecuali dalam konteks-konteks tertentu. Seorang laki-laki juga tidak diperkenankan melihat aurat laki-laki yang lain, demikian juga wanita; ia tidak boleh melihat aurat wanita lain, kecuali ada ketentuan yang bersifat khusus.

2. Seorang laki-laki boleh melihat selain aurat wanita; dan seorang wanita boleh memandang aurat laki-laki; tanpa diserta niat untuk dinikmati atau untuk mengumbar syahwat.

3. Seorang wanita juga boleh menampakkan selain muka dan kedua telapak tangannya di hadapan mahramnya, wanita Muslim maupun kafir, budak, dan pembantu laki-laki yang sudah tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Hal ini yang telah dijelaskan di dalam Al-Quran. Dengan kata lain, seorang laki-laki boleh melihat lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan, wanita yang termasuk mahramnya, baik Muslim maupun kafir secara mutlak. Kebolehan melihat wanita yang termasuk mahram, lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan tidak dibatasi hanya pada bagian-bagian tubuh tertentu, akan tetapi kebolehannya bersifat mutlak untuk seluruh bagian tubuh. Ketentuan semacam ini didasarkan pada Allah swt berfirman;



وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."[al-Nuur:31]

4. Suami isteri boleh melihat seluruh anggota tubuh pasangannya. Ini didasarkan pada hadits yang dituturkan oleh Bahz bin Hakim, dari bapaknya, dari kakeknya; bahwasanya ia berkata;"



قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ فَقَالَ الرَّجُلُ يَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَافْعَلْ قُلْتُ وَالرَّجُلُ يَكُونُ خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَجَدُّ بَهْزٍ اسْمُهُ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَيْدَةَ الْقُشَيْرِيُّ وَقَدْ رَوَى الْجُرَيْرِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ وَهُوَ وَالِدُ بَهْزٍ

"Aku pernah bertanya kepada Nabi saw, "Ya Rasulullah, mana aurat kami yang harus kami tutupi, dan mana yang boleh kami biarkan? Rasulullah saw berkata kepadaku, "Jagalah auratmu, kecuali kepada isterimu atau budakmu."[HR. Turmudziy]

5. Seorang laki-laki yang hendak mengkhithbah (melamar) seorang wanita yang hendak dinikahinya, boleh melihat lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan. Kebolehan melihat lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan ini ini bersifat mutlak, tanpa dibatasi bagian tubuh tertentu. Ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra, bahwa ia berkata, " Rasulullah saw bersabda, "



إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Jika salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, jika ia mampu melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah." Lalu Jabir berkata: "Lalu, aku melamar seorang wanita yang sebelumnya aku sering mengintipnya hingga melihat keadaan¬nya yang mendorong diriku untuk menikahinya." Meskipun pelamar boleh melihat lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan wanita yang hendak dinikahinya, akan tetapi, ia dilarang berkhalwat (bersepi-sepi) dengan wanita itu. Sebab, syariat telah melarang seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, tanpa disertai oleh mahram wanita tersebut.

6. Seorang laki-laki juga diperbolehkan melihat wanita, lebih dari sekedar muka dan telapak tangan, jika ada keperluan-keperluan tertentu yang mengharuskan dirinya melihat lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan; misalnya dalam kasus pengobatan, pembuktian kasus-kasus kriminal, dan sebagainya. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Nabi saw ketika memerintahkan Sa'ad untuk menghukum Bani Quraidlah, beliau memerintahkan Sa'ad untuk menyingkap kain sarung mereka." Diriwayatkan juga dari 'Utsman, bahwasanya dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang melakukan pencurian. Utsman berkata, "Lihatlah di balik sarungnya. Para shahabat tidak melihat ada rambut yang telah tumbuh (pubis) di kemaluannya. Oleh karena itu, Ustman tidak memotong tangannya." Apa yang dilakukan oleh 'Utsman, disaksikan dan didengar oleh para shahabat, dan tak seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa apa yang dilakukan 'Utsman ra merupakan kesepakatan para shahabat.

7. Di dalam kehidupan khusus (rumah), seorang wanita diperbolehkan menampakkan lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan, yakni, bagian-bagian tubuh yang biasa tampak ketika ia mengenakan pakaian sehari-hari di dalam rumah. Dalam keadaan seperti ini –yaitu, ketika memakai pakaian sehari-hari-- ia boleh terlihat oleh anak kecil yang belum baligh, serta budak-budaknya. Dalilnya adalah firman Allah swt;



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaianmu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."[al-Nuur:59]

Ayat ini dengan sharih menyatakan, bahwa anak yang belum baligh dan budak boleh tidak meminta ijin kepada pemilik rumah (laki-laki dan wanita), selain tiga waktu di atas (sebelum sholat Shubuh, ketika tengah hari, dan sesudah sholat Isya'), meskipun pemilik rumah tengah berganti pakaian, atau mengenakan pakaian sehari-hari. Dengan demikian, ayat ini dengan sharih juga menunjukkan, bahwa seorang wanita hidup di dalam rumahnya dengan mengenakan pakaian sehari-hari, alias boleh menampakkan lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan.

8. Ketika seorang wanita berada di dalam rumahnya, konteks yang dibahas bukan sekedar masalah "menutup aurat" atau "tidak menutup aurat", akan tetapi, masalah al-tabadzdzul (berganti pakaian). Anak kecil, budak, dan pembantu yang ada di dalam rumah, wajib meminta ijin dalam tiga waktu, yakni sebelum sholat Shubuh, ketika tengah hari, dan sesudah sholat 'Isya'. Adapun selain anak kecil dan budak miliknya, diharuskan meminta ijin ketika hendak masuk ke dalam rumah yang bukan miliknya.

9. Seorang wanita yang hidup serumah dengan karib kerabatnya, baik laki-laki maupun wanita, mahram maupun bukan mahram; tidak ada larangan bagi wanita tersebut untuk mengenakan pakaian sehari-hari, hingga tampak sebagian auratnya, misalnya, rambut, lengan, leher, dan kakinya. Adapun laki-laki yang termasuk mahram, atau 12 orang yang disebutkan di dalam al-Quran yang hidup serumah dengan wanita itu; tidak ada larangan bagi mereka untuk melihat wanita tersebut lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan kerabat laki-laki yang bukan termasuk mahram, atau laki-laki asing yang hidup serumah dengan wanita tersebut, wajib menjaga pandangannya terhadap wanita tersebut. Dengan kata lain, kerabat laki-laki yang bukan termasuk mahram, atau laki-laki asing yang hidup serumah dengan wanita tersebut diperbolehkan melihat wanita tersebut, ketika ia tengah mengenakan pakaian sehari-hari (tsiyaab al-tabadzdzul), dengan pandangan yang wajar. Artinya, laki-laki bukan mahram, atau laki-laki asing yang hidup serumah dengan wanita tersebut diperbolehkan melihat wanita itu dalam keadaan berpakaian biasa, sehingga tampak rambut, leher, lengan, dan kedua mata kakinya, dengan pandangan yang wajar. Sebab, di dalam kehidupan khusus (rumah), seorang wanita tidak diwajibkan menutup auratnya. Namun demikian, kerabat laki-laki yang bukan mahram, dan laki-laki asing yang tinggal serumah dengan wanita itu, dilarang berinteraksi dengan wanita tersebut seperti halnya interaksi wanita tersebut dengan mahram-mahramnya. Mereka juga tidak diperbolehkan melihat wanita tersebut ketika tengah berada dalam tiga waktu; sebelum Shubuh, ketika Dzhuhur, dan sesudah sholat Isya'.

10. Adapun orang yang datang dari luar rumah, baik kerabat maupun bukan kerabat, mahram maupun bukan mahram; mereka diwajibkan untuk meminta ijin ketika hendak masuk ke dalam rumah. Jika yang masuk ke dalam rumah adalah karib kerabat yang termasuk mahram, maka tidak ada larangan bagi wanita yang ada di dalam rumah untuk menampakkan lebih dari sekedar wajah dan kedua telapak tangannya. Sebab, mereka diperbolehkan melihat lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan. Namun, jika yang masuk ke dalam rumah adalah karib kerabat yang bukan mahram, atau orang asing, maka wanita yang ada di dalam rumah tersebut wajib menutup auratnya dari laki-laki tersebut. Ia tidak boleh menampakkan lebih dari sekedar muka dan kedua telapak tangan, meskipun di rumahnya sendiri.

11. Adapun terhadap wanita-wanita di luar rumah yang membuka auratnya –seperti keadaan wanita sekarang ini--, maka seorang laki-laki Muslim wajib menjaga pandangan dari mereka. Ia tidak boleh memandangi wanita itu terus menerus, seperti yang banyak dilakukan kebanyakan orang saat ini. Yang diperbolehkan oleh syariat hanyalah pandangan tiba-tiba (nadzr al-fuja'ah). Ia dilarang meneruskan pandangan pertamanya (pandangan tiba-tibanya) dengan pandangan-pandangan berikutnya. Ia wajib memalingkan wajahnya ketika dengan tiba-tiba melihat wanita-wanita yang yang menyingkap auratnya di muka umum, jalan, rumah sakit, perpustakaan umum, dan lain sebagainya. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jarir bin 'Abdullah, bahwasanya ia berkata;



سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي

"Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab, "Palingkanlah pandanganmu."[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]. Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata, "Nabi saw bersabda kepada Ali ra, "Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya." [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]

12. Jika seorang laki-laki bercakap-cakap dengan wanita-wanita asing yang membuka auratnya, karena ada urusan-urusan penting yang harus ia selesaikan, di kantor-kantor, pasar, rumah sakit, dan sebagainya, maka, wajib bagi laki-laki tersebut mengalihkan atau memalingkan pandangannya dari wanita tersebut; dan ia juga wajib menjaga pandangannya. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya Fadl bin 'Abbas berboncengan dengan Nabi saw. Tiba-tiba, ada seorang perempuan al-Khats'amiyyah lewat, dan menarik hatinya. Fadl pun memandangi wanita itu, dan wanita itu juga memandangi dirinya. Rasulullah saw segera memalingkan wajahnya dari perempuan itu.

Inilah beberapa ketentuan yang berhubungan dengan hukum melihat wanita, baik di rumah maupun di kehidupan umum. Ketentuan-ketentuan ini ditetapkan sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap kehormatan dan kesucian wanita. Tidak hanya itu saja, hukum-hukum ini juga digariskan untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, akibat hubungan-hubungan abnormal yang terjadi antara laki-laki dan wanita.

Sayangnya, sistem pergaulan Islam yang agung dan luhur ini telah tersisih, dan diganti dengan sistem pergaulan barat yang lebih mengagungkan kebebasan dan menonjolkan pemujaan kepada hawa nafsu dan syahwat. Akibatnya, banyak wanita keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, dan memamerkan kecantikannya (tabarruj). Pergaulan antara laki-laki dan wanita tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip ta'awun (saling tolong menolong) dan baqa' al-jins (pelestarian jenis), akan tetapi didasarkan pada prinsip kebebasan dan sexualitas. Akhirnya, sendi-sendi kehidupan masyarakat mengalami kehancuran yang sangat parah. Perzinaan merajalela, prostitusi, lesbian, homoseks, pornografi, pornoksi, dan penyimpangan-penyimpangan perilaku lain akibat diterapkannya sistem pergaulan yang rusak, justru mendapatkan perlindungan hukum, dengan alasan, menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan. Wajar saja, penyimpangan perilaku akibat rusaknya nidzam al-ijtimaa'iy (sistem pergaulan) semakin hari bukan semakin menyusut, akan tetapi justru semakin bertambah, baik dari sisi kerumitan dan kekomplekannya.

Untuk itu, harus ada upaya serius dari kaum Muslim untuk menerapkan kembali al-nidzam al-ijtima'iy (sistem pergaulan) Islamiy di tengah-tengah masyarakat, agar hubungan laki-laki dan wanita kembali pada keadaan fithrahnya semula.

Tidak ada komentar: