Siap!!! BERPERANG......Baik Pemikiran maupun kekuatan fisik!!! "HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID"

Siap!!! BERPERANG......Baik Pemikiran maupun kekuatan fisik!!! "HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID"

My Flag and ummah

MenAnti Apa Yang Di NanTi

BerdiRi koKoH,MengHadap, MeNanTang..







Sekian Lama Terpuruk,,mencOba Tuk BanguN dari Tidur Panjang..







Duduk, Jongkok, Berdiri sampai Nanti..







SaMpai TerbukTinya SuraT Al-Qoriah, Al-Zalzalah...




KHILAFAH RASYIDAH ALA MANHAJ NUBUWWAH AKAN HADIR MENJADI PELITA SELURUH ALAM..







Allahu Akbar!!!







kobArkan Al-liwa ar-Rayah mu KAWAN!!!

Dan PENA ku berkata..."LAWAN!!! LAWAN!!!LAWAN!!!









Isi Buku Tamu dulu Dunkzzzz


ShoutMix chat widget

Si Pena TajaM

Foto saya
Merupakan Pusat Studi Islam yang hadir untuk Remaja dalam mendapatkan pencerahan Islam melalui kebenaran ajarannya

Minggu, 21 Februari 2010

Di tengah Perjalanan Hidupqu...

Melangkah dengan pasti, dengan keridhoanNya, dengan Semangat tak tergoyahkan qu menantang kerasnya hidup ini!!!
Kehidupan yang rusak, kacau, dan telah tampak kehancurannya..

Sebenarnya agak malas juga menjalani segala aktivitas hidup dengan sistem busuk ini. Tetapi dalam melaksanakan semua yang harus dilaksanakan, qu melewati beragam kisah yang belum pernah kuduga selama awal qu bernafas sampai saat ini.

Curhatnya seorang waria kepadaqu...
20 menit berlalu qu menanti bus kota yang tak kunjung tiba, ku tantang panasnya matahari dengan kegagahan tubuhqu yang terbalut jilbab dan khimar yang terurai rapi. bercucuran setetes demi setetes peluh dari atas keningqu. Tiba-tiba tersentak qu melihat bus kota berwarna hijau dengan angker wujudnya...hehehe Alhamdulilah PATAS 16 telah tiba menyambut penantianqu sejak tadi siang. Akhirnya...qu berada di bus bersejarah ini lagi..sekian lama qu berpaling darinya ternyata qu kembali lagi...qu menghianati si hijau karena ada si Biru PATAS 70(AC), sebab si Hijau jumlahnya sangat minim dibandingkan si biru...padahal si Hijau itu sangat terjangkau harganya oleh rakyat menengah ke bawah..

Mataku berusaha membidik tempat duduk yang tak berpenghuni. Alhamdulilah masih ada dua tempat duduk yang kosong. Tempat duduk pertama kanan-kirinya 2 orang bapak-bapak bertubuh kekar (iih ngeri ah...), tempat duduk kedua adalah 2 orang perempuan dewasa. Sangatlah jelas dan beralasan bila ku memilih duduk disebelah kedua perempuan dewasa daripada duduk disebelah 2 orang bapak-bapak itu. Beberapa menit setelah ku merasa nyaman duduk di Bus KOTA lusuh itu, tanpa sadar ternyata 2 sosok yang kukira adalah perempuan ternyata BUKAN.........................................................


Ku hela nafas dalam-dalam, ku tenangkan pikiran agar tak berpikir macam-macam tentang mereka. Cukup ku merasa tenang ketika seorang yang disebelahku (sudah renta sih..) bertanya kepadaku ”Pulang kerja teh?”(kebetulan beliau asli karawang) ”ooh iya pulang ngajar pak!!”(dengan PD-nya ku menyebut kata yang paling tidak disenangi oleh waria) jawabku kepada waria itu. namun setelah pertanyaan ku terlontar ternyata waria itu tidak naik pitam kepadaku yang imut ini..hehehe. Lalu beliau bertanya lagi ”mau kemana teh?” ”saya akan menuju ke kampus PGSD UNJ di Setiabudi pak!” jawabku lantang. Tiada kata lelah beliau terus bertanya padaku ”mbk, kuliah biayanya mahal ya?” mahal banget pak !dengan menyebut berapa rupiah yang tiap semesternya aku bayar(rahasia ah! Yang jelas sangat sulit dijangkau masyarakat miskin), ”memang siapa yang ingin kuliah pak?” tanyaku ”saya ingin kuliahkan anak saya!” jawabnya dengan menunduk. Tersentak aku kaget mendengar pernyataannya kalau ternyata beliau punya anak yang sudah ABG(alhamdulilah ekspresi kaget ana tidak ketahuan beliau).

”sangat sulit bagi orang-orang yang tak berduit banyak dapat kuliah di universitas-universitas negeri, padahal negeri lho pak!! Yang seharusnya negara yang menanggung dan berperan besar, tapi justru diminimalkan peran negara dengan undang-undang Badan Hukum Pendidikan, jadi mahal deh!!



Coba kita baca surat kabar hari ini

SUARA PEMBARUAN DAILY



Pengantar

Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas rancangan undang-undang ( RUU) badan hukum pendidikan (BHP) dan sudah masuk dalam tahap perumusan, dan sinkronisasi. Artinya, tinggal setahap lagi, RUU itu bisa disetujui menjadi undang-undang dan disebut sebagai bagian dari reformasi pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hanya saja, regulasi tersebut tetap dikhawatirkan banyak kalangan yang peduli dengan dunia pendidikan nasional, karena dianggap akan menjadi legalisasi liberalisasi pendidikan. Tanggung jawab negara membiayai pendidikan akan makin lepas, sehingga akses orang miskin akan pendidikan makin kecil. Wartawan SP, Willy Masaharu dan Marselius Rombe Baan menyoroti masalah tersebut dalam tulisan berikut.



SP/Charles Ulag - Bambang Sudibyo



Undang-Undang (UU) 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanatkan bahwa perguruan tinggi (PT) harus otonom. Itu berarti, PT harus mampu mengelola lembaga dan dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan, sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan.



Otonomi sangat dibutuhkan oleh sekolah atau madrasah, terutama oleh PT agar tumbuh dan berkembang kreativitas, inovatif, bermutu, fleksibilitas, dan bermobilitas yang merupakan prasyarat agar ilmu, teknologi, dan seni dapat berkembang secara paripurna.



Pada gilirannya, perkembangan ilmu, teknologi, dan seni tersebut akan memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.



Untuk mewujudkan otonomi tersebut, maka UU Sisdiknas menentukan bahwa penyelenggara dan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan (BHP). Artinya, sekolah atau madrasah serta PT akan otonom bila secara hukum diberi status sebagai badan hukum, yaitu pemilik hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban pendirinya.



Saat ini, DPR dan pemerintah sedang membahas rancangan undang-undang (RUU) BHP untuk memenuhi amanat UU Sisdiknas tersebut. Namun, dalam perjalanannya, pembahasan RUU BHP kerap menimbulkan pro dan kontra.



Banyak kalangan pengamat dan praktisi pendidikan yang mengkhawatirkan adanya agenda liberalisasi pendidikan di balik BHP tersebut. Tak kurang pengamat pendidikan Darmaningtyas dari Perguruan Taman Siswa dan Prof HAR Tilaar serta Prof Dr Winarno Surakhmat berkali-kali mengingatkan bahwa RUU BHP tersebut akan mengarahkan dunia pendidikan Indonesia ke komersialisasi. Mereka mencontohkan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang tidak lagi menjadi kampus orang-orang desa, karena porsi anak-anak berprestasi dari keluarga miskin sudah sangat minim.



Demikian pula di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Indonesia (UI), umumnya mereka yang masuk di PTN ini adalah mahasiswa yang keluarganya ada di Jakarta dan sekitarnya, atau anak pejabat dan orang kaya dari daerah. Sedangkan, mahasiswa dari latar belakang kurang mampu, jumlahnya makin kecil, karena sistem penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang bisa membayar, justru diperkuat.



Meski demikian, pemerintah dan DPR tetap bersikeras menilai bahwa RUU BHP tidak seperti yang dikhawatirkan itu. "Saya tegaskan kembali, BHP tidak akan pernah meliberalisasikan pendidikan nasional," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, seusai memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Kopertis wilayah I-XII, di Jakarta, beberapa waktu lalu.



Dia mengemukakan, pada prinsipnya, BHP merupakan satu bentuk reformasi dalam bidang pendidikan. Menurutnya, kriteria reformasi di bidang pendidikan adalah akuntabilitas, transparansi, nirlaba, dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan, termasuk PT.



Mendiknas menegaskan, keberadaan UU BHP, bukan ditujukan komersialisasi pendidikan. Komersialisasi baru terjadi kata Mendiknas, jika sudah ada profit making. "UU mengatakan silakan mencari sisa lebih, tapi kalau sudah ada sisa harus diinvestasikan balik untuk pendidikan," katanya.



Dikatakan, banyak beranggapan munculnya UU BHP justru menciptakan komersialisasi pendidikan. "Sikap seperti itu tidak benar. Justru setelah ada UU itu satuan pendidikan dapat menekan biaya pendidikan, sehingga memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan murah. Mari dibuktikan dulu manfaatnya. Jangan terlalu berprasangka," katanya.



Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dikti Depdiknas) Fasli Jalal, dalam suatu kesempatan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengemukakan, UU Sisdiknas menegaskan bahwa BHP berprinsip nirlaba. Ini berarti, semua sisa lebih dari kegiatan yang dilakukan BHP, harus dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan satuan pendidikan di dalam BHP. "UUD 1945 serta UU Sisdiknas menjamin alokasi 20 persen dari APBN dan APBD untuk mendanai pendidikan, sehingga pemerintah tidak lepas tanggung jawab dan akan tetap mendanai penyelenggaraan pendidikan.



Ditanyakan akses bagi kelompok yang kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan, dia menegaskan, BHP juga memegang asas berkeadilan. Yakni, memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, agama, serta kemampuan ekonomi.



"Sehingga, mereka yang berasal dari golongan kurang mampu bisa tetap bersekolah. Kan sudah ditegaskan dalam pasal mengenai pendanaan," katanya.







Kampus Universitas Indonesia, di Jalan Salemba, Jakarta. Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang BHP menjadi UU nanti dikhawatirkan akses orang miskin ke perguruan tinggi makin kecil.



Kelas Dunia



Menurut pemerintah, perubahan format PT menjadi BHP memungkinkan otonomi

seluas-luasnya. Dengan demikian, misalnya, rektor akan lebih kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi.



Selain itu, otonomi ini menjadi prasyarat bagi kreativitas dan inovasi untuk menuju universitas kelas dunia. Sebab, selama ini PT terjerat dalam struktur dan mekanisme birokrasi yang pada kenyataannya rektor justru tunduk kepada para pejabat di eselon tiga atau empat yang ada di Depdiknas dan Depkeu.



DAN MAHASISWA BERKATA



Membongkar Liberalisasi dan Kapitalisasi Pendidikan

Buletin Gema Pembebasan Edisi III-IV Maret 2007





Rakyat tertindas! Rakyat disiksa dengan metode yang sistematis. Para pembuat kebijakan yang seharusnya melayani rakyat, dengan semena-mena justru merampas dan menginjak-injak hak rakyat melalui mekanisme legislasi. Kini, rakyat yang miskin, kurang gizi dan bodoh ini, tengah menantikan munculnya alat penyiksa baru yang akan memenjarakan mereka dalam kemiskinan dan kebodohan. Alat penyiksa itu tersusun dalam Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Rancangan Undang-Undang (BHP) sebagai konsekuensi dari pasal 53 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) akan segera diajukan ke DPR. Naskah tersebut kini berada di Sekretariat Negara dan proses pengajuannya ke DPR tinggal menunggu amanat dari Presiden. DPR sudah memasukkan RUU BHP ini menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007, sehingga ditargetkan 2007 selesai (Media Indonesia, 27/01/07). RUU ini mengatur badan hukum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Jika di amati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Mansyur Ramly (Kompas, 03/10/06), menegaskan substansi RUU tersebut, antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi. Pengelolaan PTN model privatisasi merupakan bentuk liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Pakar pendidikan, H.A.R Tilaar, menilai RUU BHP sebagai bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. "Jelas agenda neo liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan," ujar H.A.R Tilaar (Tempo,12/4/2005). Menurut Tilaar, Pemerintah secara terselubung berupaya menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pendidikan. Untuk melepaskan tanggung jawab tersebut, pemerintah memandang pentingnya otonomi pada perguruan tinggi. Pemikiran perlunya otonomi pada perguruan tinggi menjadi dasar pembentukan RUU BHP ini. Konsep BHMN yang sudah dijalankan oleh tujuh PTN (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan Unair) pada perjalanannya akan senanfas dan "disempurnakan" oleh RUU BHP. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Dalam status BHMN, pemerintah masih bertanggung jawab walaupun BHMN diberikan otonomi sendiri untuk mengelolanya. Namun, ketika BHMN berpindah status menjadi BHP, maka konsekuensinya adalah pemerintah melepaskan tanggung jawab pengelolaan universitas sepenuhnya terhadap pihak pengelola pendidikan dan masyarakat itu sendiri.





Liberalisasi dan Kapitalisasi dalam RUU BHP



Nuansa privatisasi sebagai bentuk liberalisasi dan kapitalisasi semakin nyata di dunia pendidikan kita. Upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selaku ibu kandung RUU BHP, UU Sisdiknas menunjukkan adanya penurunan derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. Contoh lain dari kapitalisasi dan liberalisasi yang terkandung dalam RUU BHP, misalnya dalam Pasal 2 RUU BHP, ada beberapa prinsip BHP yang kelihatannya manis namun penuh kebusukan. Seperti prinsip nirlaba, sebenarnya lebih cenderung menjadikan lembaga pendidikan seperti LSM/NGO. Dengan prinsip ini, PTN misalnya, akan mendapat dana dan program dari orang-orang Kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang cenderung mencari keuntungan. Hal ini sejalan dengan prinsip Partisipatif, masih dalam pasal yang sama, yaitu melibatkan "para pihak yang berkepentingan" dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama "para pihak yang berkepentingan". Pihak yang berkepentingan (kapitalis) akan diberi kebebasan mengobok-obok pendidikan negeri ini. Prinsisp otonom, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, sehingga mampu menjalankan fungsinya secara kreatif. Sesungguhnya prinsip ini hanya akan membuka intervensi asing. Dengan prinsip ini, fakultas/sekolah dapat melakukan kerjasama langsung dengan pihak luar, tanpa melalui Rektor. Selain itu, Dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia". Pasal ini memberikan kebebasan kepada sekolah internasional untuk beroperasi tanpa batas, dan disesuaikan dengan pemikiran dan nilai-nilai mereka. Dengan demikian, proses sekularisme/liberalisme akan semakin subur dan bertambah cepat di negeri ini. Dalam RUU BHP, BHP memiliki Majelis Wali Amanat (MWA). MWA adalah lembaga tertinggi yang menetapkan dan mengesahkan kebijakan dalam BHP. Tentu, MWA ini akan gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba akan menjadi subur. Nuansa pengendalian kampus oleh pihak kapitalis semakin dikukuhkan dengan adanya aturan dalam pasal 10, ayat (8), yang mengharuskan ketua MWA berasal dari masyarakat (yang sejatinya para kapitalis),bukan dari pihak kampus. Bukan itu saja, menurut mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, SH, berbagai program pendidikan yang terkandung dalam BHP diduga merupakan proyek Dikti melalui IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaan program ini melalui pinjaman dari Bank Dunia yang tentunya, arah pendidikan bisa jadi bakal tidak selaras lagi dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia (Jawa Pos, 11/03.07). Dengan demikian, kita bisa melihat dengan jelas, BHP adalah perangkat undang-undang yang akan semakin memantapkan liberalisme dan kapitalisme di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Liberalisasi dalam BHP akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara tak lagi berfungsi sebagai pelayan. Kapitalisasi, akan berimplikasi pada semakin mahal pendidikan. Pendidikan akan lebih berorientasi pasar, berpegang pada hukum supply-demand, dan cenderung berburu rente (rent seeking). Pendidikan hanya bisa diakses oleh kelompok bermodal. Orang miskin, akan tetap berada di tempatnya, terpenjara oleh kemiskinannya.





Jika Kurang dana, Jangan Jual Negeri Tercinta!



Pendidikan gratis untuk tingkat dasar saja, pemerintah belum sanggup. Apalagi untuk tingkat menengah dan tinggi. Hal ini ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4), (Kompas,18/04/05). Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), "Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat". Inilah yang kemudian mendasari pemerintah untuk berlepas dari tanggung jawab pembiayaan pendidikan nasional. APBN kita defisit. Anggaran pendidikan yang seharusnya 20 % APBN, ternyata hanya 9,1 % saja. Indonesia miskin di tengah limpahan kekekayaan alam. Sesungguhnya, negeri ini akan makmur jika pemerintahnya tidak tunduk dan mau menjadi budak para imperialis-kapitalis yang dikomandoi oleh AS dan konco-konconya. Tambang emas, batu bara, minyak bumi, hutan, kekayaan alam lainnya, jika tidak dipersembahkan kepada para penjajah, akan menjadikan kas negara surplus. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyatnya. Pendidikan gratis di Indonesia bukanlah mimpi. Ini bisa terwujud tanpa harus menjual negeri kita kepada pihak asing dan para kapitalis.





Peran Negara dalam Pendidikan Umat



Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian, negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang memadai lagi gratis. Sudah saatnya seluruh kaum muslimin berbicara kepada penguasa di negeri ini, menyampaikan nasihat yang benar. Bahwa pendidikan seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah seseorang yang diberi jabatan mengurusi rakyat muslim lalu dia mati dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan surga darinya. (H.R. Bukhari dan Muslim) Mari Bergerak, Lawan Penindasan! Penindasan oleh kapitalisme global melalui bonekanya, yakni penguasa negeri ini, harus dilawan oleh rakyat dengan penuh keberanian.





Mari bergerak, lawan penindasan!



Kita bongkar setiap konspirasi busuk yang bertujuan menjajah negeri muslim. Sesungguhnya, bau busuk dari rencana jahat mereka akan segera terbongkar. Mari kita bersatu, dalam membumikan aturan Allah yang akan mampu memecahkan setiap persoalan. Totalitas hukum Allah dalam naungan Khilafah Islamiyah akan menjadi pembebas kita dari tangan-tangan penjajah. Janganlah kita buta mata, sehingga untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini saja, kita harus menjual negeri ini. Kembalilah kepada hukum Allah. Tidakkah kita mengetahui keagungan aturan Islam yang sempurna? Apakah kita lebih rela dijajah dengan aturan kapitalisme, daripada harus kembali pada Islam? Allah berfirman: Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. (TQS. al-Maidah [5]: 20).





Tidak ada komentar: